Bayu Dardias
Seperti dugaan banyak pihak,
UU Pemilu yang pada akhirnya disahkan tanggal 12 April 2012 tidak jauh berbeda
dengan UU sebelumnya. Salah satu poin krusial hanyalah pernambahan parliamentary threshold dari 2,5%
menjadi 3,5 %. Namun demikian, beberapa detail perbaikan dilakukan misalnya dalam
Dewan Kehormatan Pemilu dan Pengadilan ad hoc Pemilu. Perubahan institusional belum
dapat diperkirakan karena strategi aktor politik yang belum menunjukkan hasil.
Pemilu pada dasarnya adalah
setumpuk hal ihwal teknis yang berusaha untuk mentransfer suara pemilih menjadi
kursi. Mekanisme transfer suara menjadi kursi tersebut memiliki berbagai
variasi tergantung kepada kondisi sosial politik suatu negara dan rezim yang
sedang berkuasa. Pemilu umumnya digunakan untuk mencari pemimpin terbaik. Pada
masyarakat yang tingkat kedewasaan politiknya relatif tinggi, kesadaran untuk
berpartisipasi dalam pemilu akan cukup tinggi. Namun berlum tentnu ditunjukkan
oleh tingginya voters turnout atau
kehadiran pemilih dalam pemilu yang menggunakan hak suaranya. Beberapa negara
malah mewajibkan warganya untuk mengikuti pemilu dengan ancaman denda jika
tidak hadir di pemilu, semata-mata untuk mempertahankan voters turnout tetap di angka yang cukup legitimate. Jika turnout rendah, siapapun pemimpin yang
dihasilkan akan diragukan legitimasinya dan hal ini merupakan ancaman serius
demokrasi. Di Indonesia, angka turnout
untuk pemilu legislatif cukup tinggi walaupun menunjukkan tren yang terus
menurun sejak reformasi, 90% dalam Pemilu 1999
dan 87% dalam Pemilu 2004 dan 70% di tahun 2009
(Idea Int 2012).
Pada negara otoriter, pemilu digunakan tidak untuk memilih pemimpin
terbaik, tetapi direkayasa agar penguasa tetap menduduki jabatan politik. Di Vietnam yang
merupakan negara komunis dengan satu-satunya Partai Komunis misalnya, pemilu
diadakan untuk memilih anggota parlemen dari partai komunis untuk menduduki
lembaga perwakilan. Kompetisi terjadi antar sesama kader partai komunis. Proses
transfer suara ke kursi yang seharusnya sederhana, menjadi sangat kompleks dan
bervariasi karena ditujukan untuk kepentingan yang berbeda-beda di tiap negara. Saat ini, menurut freedomhouse.org,
Indonesia adalah satu-satunya negara demokratis di Asia Tenggara.
Pemilu juga dapat digunakan
sebagai salah satu indikator demokrasi yang serius. Larry Diamond dan Morlino (2005)
mendefinisikan sistem yang demokratis dalam beberapa ciri yaitu: hak memilih bagi setiap orang dewasa secara
menyeluruh, pemilu jujur dan adil, lebih dari satu partai politik serius
(tidak semu seperti Orba) dan sumber berita alternatif (free press). Artinya, tiga dari empat syarat demokrasi
berkaitan dengan pemilu. Di Indonesia, hak memilih universal untuk dewasa hanya
dibatasi oleh umur dan status pernikahan, tidak membedakan antara perempuan dan
laki-laki, sehingga sejak pemilu tahun 1955 (1954 pemilu lokal untuk memilih
Komite Nasional Indonesia Daerah di Yogyakarta), kita sudah tidak membedakan
sex dalam hak memilih. Hal ini berbeda untuk
beberapa negara lain. Perempuan di Inggris di tahun 1920 an melakukan
mobilisasi dukungan (women suffrage) yang
serius untuk dapat memperoleh hak suara karena mereka tidak dilibatkan dalam
urusan politik.
Fungsi paling dari pemilu adalah proses untuk melakukan rotasi
kepemimpinan. Rakyat diberi ruang untuk menentukan pemimpin mereka. Rotasi
pemimpin ini menjadi salah satu syarat dalam negara demokrasi. Hal ini yang
membedakan demokrasi dengan sistem lainnya seperti monarki, oligarki dls.
Pemilu diharapkan dapat menjadi arena untuk menentukan pemilih dengan kemampuan
terbaik.
Tulisan ini akan secara singkat akan membahas tentang beberapa hal
krusial dalam UU Pemilu legislatif yang akan digunakan dalam pemilu 2014
berikut kemungkinan perubahan yang terjadi. Tulisan ini tidak mengupas pemilu
presiden yang beberapa prinsip besarnya sudah diatur dalam konstitusi. Tulisan
ini juga tidak mengupas Pemilu DPD yang relative lebih sederhana dan secara
tidak memiliki dampak signifikan dalam arsitektur politik Indonesia.
Framework Teoritik:
Struktur versus Kultur
Terdapat dua aliran teoritik utama untuk menjelaskan tentang bekerjanya
sistem pemilu yang mendukung perubahan. Dua aliran yang saling berbeda tersebut
adalah rational-choice institutionalism
dan Cultural Modernization Theory
(Norris 2004). Detailnya sebagai berikut.
Argumen utama dari rational-choice
institutionalism adalah: “formal
electoral rules generate important incentives that are capable of shaping and
constraining political behavior” (Norris 2004:7). Penganut pendekatan rational-choice institutionalism percaya
bahwa perilaku politik para aktor politik, apakah itu pemilih, kandidat, partai
politik dan kelompok kepentingan sangat ditentukan oleh bagaimana aturan yang
dikembangkan dalam pemilu (McIntyre 2003). Teori ini lebih lanjut dijelaskan
dalam beberapa asumsi: pertama,
aturan pemilu menentukan insentif-insentif yang akan didapatkan oleh aktor
politik. Kedua, aktor politik adalah
aktor rasional yang berusaha untuk mendapatkan vote-maximizer untuk menduduki
posisi politik dengan memanfaatkan secara strategis insentif politik yang
kemungkinan dapat diraih. Ketiga,
pemilih merespon strategi yang dilakukan aktor politik dan aturan pemilu yang
secara langsung mempengaruhi haknya sebagai warga negara. Keempat, electoral
engineering diperlukan untuk melakukan perubahan yang memiliki konsekuensi
berubahnya perilaku politik aktor politik, partai politik dan warga negara.
Pendeknya, menurut pendekatan ini, setiap negara harus melakukan design
institusional melalui pemilu yang dapat merubah perilaku politik yang pada
akhirnya mencapai perubahan yang dikehendaki. Perubahan melalui rekayasa
institusional adalah cara yang harus ditempuh. Dari perubahan aturan, akan
merubah perilaku aktor politik yang pada akhirnya akan merubah respon warga
negara dalam memilih sehingga tercapai perwakilan yang dikehendaki.
Teori kedua yaitu Cultural
Modernization Theory percaya bahwa perilaku pemilih dan aktor politik tidak
semata-mata terjadi karena proses rekayasa aturan dan pilihan rasional. Pilihan
perilaku sangat tergantung kepada “societal modernization” yang membuat
distribusi human capital yang berbeda yang dipengaruhi oleh pendidikan dan
kemampuan kognitif. Modernisasi ini membawa perubahan pada kultur politik
terutama menyangkut tentang norma dan kepercayaan yang bervariasi dalam
berbagai tingkatan sosial. Batasan yang terjadi dalam kerangka modernisasi
kultural ini menyebabkan munculnya berbagai batasan dalam rekayasa electoral
yang dapat dilakukan untuk merubah sistem politik. Jika tidak sesuai dengan
kondisi kultural, hanya akan terjadi perubahan terjadi sifatnya hanya jangka. Teori
ini menentang pendekatan rasional dimana aturan menentukan perilaku. Perilaku
adalah proses dari peningkatan ekonomi, pendidikan dan kultural secara
keseluruhan.
Kedua kubu teoritik ini tidak untuk dipertentangkan karena masing-masing
memiliki pendukung dan argumennya sendiri. Lebih dari itu, kedua pandangan ini
difahami sebagai upaya untuk melihat perubahan sistem pemilu yang terjadi di
banyak negara, termasuk Indonesia.
Isu-Isu Penting
Beberapa literature yang membahas pemilu menempatkan beberapa kriteria
yang sangat menentukan sistem pemilu. Blais dan Massicotte (1996), Pamungkas
(2010) dan Norris (2004) misalnya membahas tiga kriteria yaitu: electoral formula, district magnitude
dan ballot structure. Ahli yang lain
yang bukunya digunakan sebagai rujukan sistem pemilu yaitu Reynold dan Reilly
(1997) menunjuk pada dua karakter penting: electoral
formula dan district-magnitude.
Hanya saja, menurut saya, khusus untuk kasus Indonesia, tiga hal ini harus
ditambah dan disesuaikan dengan kondisi geografis dan sebaran penduduk yang
tidak merata. Faktor-faktor ini, apabila dikombinasikan dan dihubungkan, akan
menciptakan kompleksitas luar biasa dalam menentukan sistem pemilu. Satu hal
yang paling penting adalah, apapun pilihan sistem politik suatu negara yang
ideal, yang terbaik adalah yang paling sesuai dengan kebutuhan negara tersebut.
Jadi sistem pemilu ini selalu unik dan bangsa yang bersangkutanlah yang
meraciknya. Tidak ada resep universal. Sekali lagi, tidak ada resep universal.
Sistem pemilu terbaik Indonesia adalah racikan yang paling cocok untuk
Indonesia sendiri.
Beberapa isu penting yang akan dibahas terkait dengan: 1. Perubahan rutin
tiap lima tahun sekali, 2. Electoral
formula, 3. District magnitude,
4. Ballot structure, 5. sebaran
penduduk dan kondisi geografis, 6. Threshold,
7. Judicial Power. Mari kita
detailkan satu persatu ditambah dengan kemungkinan pemilu 2014. Satu hal yang
pasti, satu faktor tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor lainnya dan satu
faktor merupakan konsekuensi dari faktor lainnya. Selanjutnya, perubahan pada
satu faktor akan memiliki dampak terhadap faktor-faktor lainnya. Kompleksitas
inilah yang disebut sistem pemilu, dimana mencari yang ideal tentu tidak mudah.
1. Perubahan rutin lima tahun
Indonesia masih melakukan eksperimen
demokrasi. Bukti paling nyata dari proses eksperimen itu adalah perubahan
secara fundamental seluruh struktur dan sistem pemilu setiap lima tahun sekali.
Regulasi yang berubah tersebut meliputi regulasi tentang Partai Politik, Pemilu
Legislatif dan Eksekutif, Susunan dan Kedudukan DPR/D dan MPR. Belakangan, KPU
sebagai penyelengara pemilu akan dibuatkan regulasi tersendiri. Inilah yang
sering disebut sebagai satu paket. Pengesahannyapun dilakukan berurutan mulai
dari Partai. Namun demikian, diantara keempat paket tersebut, UU Pemilu
Legislatif yang paling menyita energy karena banyaknya persoalan teknis yang
menentukan kualitas pemilu dan kualitas pembangunan lima tahun berikutnya.
Perbedaan sedikit saja dalam penentuan sistem akan memiliki implikasi serius
terhadap wakil di legislatif yang pada akhirnya menentukan kualitas
pembangunan.
Dalam tiga kali proses
pemilu dengan tiga paket regulasi, kita telah melakukan adaptasi sistem pemilu
yang berbeda. Pada pemilu 1999, kita menggunakan sistem yang disebut sistem
proporsional tertutup, proporsional semi-terbuka tahun 2004 dan proporsional
terbuka tahun 2009 (Mietzner 2009, Stephen 2009). Pada pemilu 2009 dan
seterusnya, kita mengadopsi partai politik lokal di Aceh sebagai konsekuensi
dari akomodasi Gerakan Aceh Merdeka seperti yang disepakati di MoU Helsinki.
Pendeknya, sistem pemilu kita tidak pernah sama dan selalu mengalami perubahan
yang drastik, yang dapat disikapi secara positif ataupun negative.
Selain itu, penyelenggara
pemilu juga merupakan hal yang penting. Seperti banyak diulas, kualitas pemilu
2009 adalah yang terburuk dibandingkan dengan pemilu 1999 dan 2004. Dengan
dukungan dana yang lebih sedikit dibadingkan tahun 2004, proses sengketa pemilu
di 2009 banyak yang harus berakhir di pengadilan.
Pada UU Pemilu 2012, beberapa
perubahan penting terjadi di beberapa hal: Pertama,
syarat peserta pemilu yang terdiri dari partai yang lolos PT 2009 dan partai
yang lolos verifikasi. Syarat peserta ini semakin sulit karena menambah jumlah
jangkauan cabang partai. Konsekuensinya, partai baru yang selama ini
menghindari Jawa, mau tidak mau akan masuk ke Jawa. Kedua, pada proses pendapilan. Detail akan dibahas di bagian District Magnitute. Ketiga, pencalonan untuk caleg dipersulit dengan tuntutan hukuman 5
tahun penjara, bukan hanya hukuman yang riil diterima seperti pemilu 2009. Jika
diberlakukan serius, hal ini bisa mencegah criminal termasuk koruptor untuk
mencalonkan diri kembali. Keempat,
Dewan Kehormatan Pemilu bersifat permanen di tingkat nasional dan tidak ad hoc
seperti pemilu 2009. DKP diharapkan dapat secara efektif menurunkan pelanggaran
etik dalam pemilu. Kelima, Pengadilan Ad Hoc Pemilu untuk pelanggaran pidana
pemilu. Walaupun disinyalir akan terjadi pertentangan hukum. Kelima, pemilu menggunakan sistem
coblos, kembali dari sistem contreng. Keenam,
penghitungan suara menjadi kursi dengan penghilangan penghitungan tahap ketiga.
Detail tentang hal ini akan disampaikan di bagian electoral formula. Ketujuh, Parliamentary Threshold yang
berlaku nasional
2. Electoral Formula
Electoral Formula berkaitan dengan bagaimana suara dihitung untuk dikonversi menjadi
kursi. Terdapat beberapa cara dalam sistem proporsional yang digunakan di
Indonesia, penentuan suara idealnya sedikit mungkin suara yang hilang. Logikanya,
seandainya suara partai X dalam pemilu 30% suara, maka idealnya partai X
memiliki 30% kursi di Parlemen. Namun hal ini sulit dilakukan. Dalam beberapa
pemilu sebelumnya kita mengenal BPP (Bilangan Pembagi Pemilihan) yang digunakan
untuk menentukan dan membagi kandidat yang menduduki kursi. Proses electoral
formula berlangsung dua tahap, dimana masing-masing tahap sama peliknya.
Pertama suara tersebut dikonversi menjadi suara partai dan selanjutnya partai
membaginya ke kandidat.
Masalahnya sering berada di
sisa suara dalam masing-masing daerah pemilihan yang selalu ada dalam setiap
daerah pemilihan. Disinilah detail menjadi sangat penting. Pada pemilu 2009
lalu, penentuan kursi tersebut menjadi persoalan serius. Tercatat terdapat
beberapa versi pengalokasian suara menjadi kursi. Kutipan Kompas (25/7/2009)
berikut mungkin bisa menjadi gambaran keruwetan tersebut. Jika KPU tidak
bekerja maksimal, keruwetan menjadi semakin panjang. Anda bisa melihat mana
partai yang diuntungkan dan partai yang dirugikan dari perolehan suaranya.
Keruwetan ini terutama
diakibatkan karena Pemilu 2009 menggunakan penghitungan tahap ketiga setelah
sisa suara tidak selesai dihitung di tingkat Dapil atau Provinsi dan diambil di
tingkat nasional. Penghitungan tahap ketiga ini akan mempengaruhi partai kecil
dan menengah tetapi tidak terlalu berpengaruh terhadap partai besar.
Pada pemilu 2014 sisa suara
hanya diperhitungkan dalam penghitungan tahap kedua yang habis dibagi di daerah
pemilihan (Pasal 212 dan 213), kembali ke penghitungan tahun 2004. Hal ini
untuk mencegah kericuhan dalam pemilu 2009. Namun demikian, penghitungan ini
kemungkinan akan semakin memperbesar disproporsionalitas suara ke kursi karena
akan ada banyak suara yang hilang sebagai akibat dari peningkatan PT dan
pemberlakuan PT secara nasional.
3. District Magnitude
District magnitude berkaitan dengan jumlah kursi per daerah pemilihan. Semakin banyak
jumlah kursi per dapil, semakin proporsional sistem tersebut yang semakin menguntungkan
partai kecil. Sebaliknya, semakin sedikit kursi per dapil akan semakin menuju
ke sistem majoritarian yang menguntungkan partai besar. Sebagai contoh: ketika setiap
daerah pemilihan yang jumlahnya misalnya 3 kursi, hanya tiga partai terataslah
yang memiliki kandidat di legislatif. Sedangkan jika satu Dapil memiliki 10
kursi, maka partai dengan peringkat 10 (seandainya masing-masing 1 kursi) akan
tetap memiliki kursi. Pada sistem majoritarian, district magnitude biasanya diberlakukan satu kursi sehingga winner takes all. Akibatnya, sisa suara
menjadi banyak dan partai kecil kesulitan berkompetisi dengan partai besar
karena harus mengalahkannya dalam dapil tersebut. Hal lainnya yang tak kalah
penting adalah sisa suara selesai diperhitungkan ditingkat yang mana, dapil
ataukah kumpulan Dapil, provinsi atau nasional.
Dapil ini dalam teori
disesuaikan dengan jumlah penduduk tetapi realitas kondisi di Indonesia juga
disesuaikan dengan geografis dan sebaran penduduk. Perdebatan tentang district magnitude ini mudah ditebak,
partai kecil ingin banyak, partai besar ingin sedikit. Di beberapa negara yang
tidak demokratis, batasan Dapil ini tidak disesuaikan dengan jumlah penduduk
tetapi sebaran dukungan politik. Ini salah satu teknik kecurangan pemilu dalam
proses gerrymandering.
Pendapilan di tingkat
Nasional tidak mengalami perubahan dari 2009 tetapi terdapat perubahan
signifikan di Provinsi dan Kab/Kota. Hal ini amat disayangkan mengingat
besarnya disproporsionalitas suara di pemilu 2009 terutama yang merugikan
penduduk padat seperti Jawa dan Bali. Segi positifnya, Dapil di Provinsi dan
Kabupaten tidak harus terikat batasan administratif tetapi dapat disesuaikan
dengan kondisi dan jumlah penduduk sehingga Dapil untuk Provinsi tidak harus
Kabupaten/Kota tetapi dapat bagian dari Kabupaten/Kota (Pasal 25-27). Hal yang
sama berlaku untuk Dapil Kabupaten/Kota. Hal ini lebih baik untuk menjaga asas
proporsionalitas. Sayangnya, tidak ada perubahan sama sekali untuk pendapilan
di tingkat nasional yang cacat dan menciderai prinsip OPOVOV. Selain itu,
pendapilan di tingkat nasional juga tidak mempertimbangkan komposisi penduduk
yang berubah pasca Sensus 2010.
4. Ballot Structure
Ballot structure berkaitan dengan bagaimana pemilih mengekspresikan pilihannya (Rae
1967, Blais 1988). Hal bukan hanya berkaitan dengan contreng atau coblos tetapi
bagaimana proses memilih didesain. Pada pemilu 2004 dan 2009, pemilih dapat
memilih dua kali, yaitu partai dan kandidat. Pemilih yang hanya memilih
kandidat penghitungannya didasarkan pada no urut partai (pemilu 2004) dan urutan
kandidat (2004). Ini berbeda dengan pemilu 1999 yang hanya memilih satu kali,
yaitu memilih partai dan penentuan kursi disesuaikan dengan no urut dari
partai. Pada pemilu 1999, nama kandidat tidak dimaksukkan dalam surat suara
(nama ditempel), sedangkan pada pemilu 2004 dan 2009 namanya tercantum dalam
surat suara.
Dalam sistem yang lebih
kompleks, pemilih tidak hanya memilih nama partai atau kandidat, tetapi juga
mengurutkannya sesuai dengan preferensinya. Proses penghitungannya tentu saja
jauh lebih rumit. Semakin rumit sebuah pemilu semakin besar peluang terjadinya
kecurangan. Pada pemilu 2009, diperkirakan banyak terjadi jual beli suara antar
kandidiat satu partai maupun antar kandidat beda partai. Saksi cenderung hanya
mengawasi perolehan suara dari partainya sendiri dan tidak memperhatikan
perolehan partai lainnya. Pada Pemilu 2014, akan kembali ke sistem coblos.
5. Sebaran Penduduk dan Kondisi Geografis
Indonesia adalah salah satu
negara yang unik. Pulau Jawa setiap tahun selalu dinobatkan sebagai The Most Populous Island in the World
(Guinness record 2012). Artinya pulau dengan jumlah penduduk terbanyak di
dunia, luas pulau Jawa hanya sekitar 6,8% luas Indonesia tetapi dihuni oleh
57,5% penduduk Indonesia (Sensus 2010). Kondisi tidak banyak berubah karena
berdasarkan Sensus yang dilakukan Belanda tahun 1930, penduduk pulau Jawa 67%
jumlah penduduk Indonesia. Artinya dalam waktu 80 tahun, penduduk Indonesia
hanya “berpindah” 10 % ke luar Jawa. Pada ekstrem lainnya, Papua yang luasnya
21,8% luas Indonesia hanya dihuni oleh 1,5% penduduk atau Kalimantan yang
luasnya 28,5 % dihuni oleh 5,8% penduduk (BPS 2010).
Hal ini belum termasuk
sebaran penduduk di 13.366 pulau yang dimiliki Indonesia. Apabila pengaturan
jumlah perolehan kursi hanya didasarkan pada jumlah penduduk, hal ini akan
meningkatkan potensi separatisme karena wakil dari Papua hanya 7 kursi (di 2009
mendapat 10 kursi) dari 560 anggota DPR. Dilema lainnya, apabila tidak dihitung
berdasarkan jumlah penduduk yang proporsional, suara orang Jawa akan dihargai
menjadi sangat “murah” dibandingkan suara di luar Jawa, misalnya Papua. Jika
dihitung di DPRD Provinsi dan Kabupaten yang jumlah minimal dan maksimalnya
telah diatur, suara penduduk Papua dapat berkali lipat suara pemilih di Jawa.
Hal ini melanggar prinsip dasar pemilu tetapi penting untuk menjaga keutuhan
Indonesia.
6. Threshold
Threshold adalah batasan minimal yang harus dilewati apabila ingin mendudukkan
wakilnya atau mengikuti pemilu berikutnya. Terdapat dua jenis threshold yaitu electoral threshold dan parliamentary
threshold. Tujuan utama threshold pada awalnya adalah untuk mencegah elemen
Nazi masuk dalam parlemen Jerman tetapi saat ini bergeser, salah satunya untuk
membatasi jumlah partai di parlemen.
Pada pemilu 1999 dan 2004,
kita menggunakan electoral threshold
dimana partai yang tidak mencapai perolehan tertentu tidak diperkenankan
mengikuti pemilu berikutnya. Aturan ini tidak efektif karena partai merubah
nama dan struktur kepengurusan untuk mendaftar sebagai partai baru, dengan
orang-orang lama. Pada 2009 kita memberlakukan parliamentary threshold (2, 5%) yang mensyaratkan hanya partai
dengan perolehan suara tertentu yang dapat memperoleh kursi.
Tujuan pembatasan partai
politik di parlemen terkait erat dengan efektifitas sistem persidangan di DPR
yang diatur dalam UU Susduk. Partai-partai nantinya akan tergabung dalam
fraksi-fraksi tertentu yang jumlahnya telah ditentukan. Dalam realitasnya,
karena jumlahnya yang sedikit, partai bergabung dengan partai lainnya.
Pembatasan threshold mudah
dicermati, partai besar cenderung ingin threshold besar karena ingin memangkas
partai kecil dengan alasan sistem pemilu yang efisien dan penyederhanan partai
politik. Sebaliknya partai kecil cenderung ingin threshold kecil demi menjaga
proporsionalitas. Threshold yang disepakati adalah 3,5% yang berlaku secara
nasional. Hal ini penting karena pada pemilu 2009 threshold hanya diberlakukan
di tingkat DPR RI. Secara nasional, partai harus memperoleh minimal 3,5% suara
nasional untuk dihitung kursinya di Nasional, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten
Kota (Pasal 209). Dampaknya, pertama,
partai akan mati-matian menarik suara dari penduduk Jawa yang jumlahnya 60%
dari penduduk Indonesia. Kedua, kecuali Aceh dan Papua, partai lokal yang cukup
penting suaranya di daerah misalnya PKNU di Jatim dan PDK di Sulsel akan
kehilangan perwakilan seandainya tidak mampu melewati threshold nasional 3,5%.
Hal ini akan mempersempit asas proporsionalitas dalam sistem pemilu sekaligus
berpotensi menghilangkan keragaman daerah, di tengah upaya nasional untuk
menjaga kenasionalan partai, kecuali untuk Aceh dan Papua.
7. Judicial Power
Faktor terakhir yang
penting dan penting yang tidak boleh dilupakan adalah kekuatan Mahkamah
Konstitusi. MK memiliki veto power terhadap konstitusi yang berpeluang untuk
menghilangkan seluruh institutional design yang diciptakan lewat pemilu. Andrew
McIntre (2003) menjelaskan, pemerintahan yang efektif adalah pemerintahan yang
memiliki veto power yang seimbang, tidak terlalu banyak dan tidak terlalu
sedikit. Di Indonesia saat ini, kewenangan untuk membuat sistem pemilu tidak
hanya didesain di DPR, tetapi lebih ampuh di MK. Pada kasus pemilu 2009, MK
menghapus satu blok pasal yang mengatur tentang electoral formula. Akibatnya sungguh luar biasa. Sistem pemilu
bergeser dari proporsional semi-terbuka menjadi menjadi proporsional terbuka
yang membuat seluruh design institusional terhenti. Sistem kepartaian yang
didesain lewat pemilu tidak berjalan dan individu lebih penting dari partai
politik.
Akibat dari perubahan sistem
ini luar biasa. Foto kandidat menjadi sangat besar dengan hanya menyisakan logo
kecil partai di pojok. Individu menjadi penting dan sedikit yang mau bekerja
untuk partai karena keterpilihannya tidak didasarkan pada loyalitas kepada
partai. Tidak ada lagi yang rela bekerja untuk partai dan institusionalisasi
partai terhenti.
8. Perilaku Aktor Politik dan Perubahan Sistem
Politik
Setidaknya terdapat empat
hal penting yang akan merubah perilaku aktor politik untuk pemilu 2014 yaitu: Pertama, pemilu 2014 tetap akan diwarnai
perebutan kandidat yang akan didominasi oleh tokoh terkenal atau pemodal, tanpa
memperhitungkan kariernya di partai politik sebagai akibat sistem
proporsionalitas terbuka (Pasal 5). Kedua,
pertarungan untuk masuk menjadi daftar anggota legislatif akan semakin berat
mengingat munculnya fenomena merger partai. Partai kecil yang merasa tidak
dapat bersaing karena syarat yang semakin ketat dan PT yang semakin tinggi akan
bergabung dengan partai lain yang memilki potensi untuk dapat memperoleh wakil
di DPR/D. Sehingga persaingan dalam penentuan caleg (walaupun terbuka) akan
semakin berat karena partai kecil ingin masuk menjadi caleg di merger partai
tetapi partai besar juga sudah memiliki kandidat. Ketiga, anggota DPR/D 2009-2014 akan diuntungkan dengan sistem
proposional terbuka karena meningkatnya dana yang diperoleh dan digunakan saat
masa reses. Beberapa daerah kaya seperti di Kutai Kartanegara telah memulai
dana aspirasi sejak beberapa tahun lalu. Incumbent ini telah memiliki investasi
di mata pemilih. Keempat, kecil
kemungkinan adanya peningkatan prosentase perempuan di parlemen. Perempuan di
parlemen tidak menunjukkan peningkatan berarti sejak 1999 yang hanya berkisar
10%-20%, jauh dibawah prosentase yang diinginkan sekitar 30%.
Penutup
Pemilu setelah reformasi di
Indonesia menunjukkan perubahan yang signifikan dari waktu ke waktu. Perubahan
sistem pemilu terjadi karena adanya perubahan terhadap elemen-elemen penyusun
sistem pemilu yaitu electoral formula,
district magnitude dan ballot
structure. Selain itu tantangan pemilu di Indonesia juga ditambah dengan
kondisi geografis dan sebaran penduduk yang tidak merata dan peran MK yang
kuat. Terakhir, upaya untuk menciptakan sistem partai politik yang efektif dan
efisien diusahakan dengan mekanisme threshold. Dalam proses penyusunan
regulasi, keterkaitan antara elemen tersebut menjadikan pemilu di Indonesia
medan pertarungan yang berat antar partai. Walau terdapat beberapa perbaikan di
regulasi untuk pemilu 2014, belum dapat dilihat pasti perubahan perubahan
berarti dalam disain institusional Indonesia, karena strategi aktor politik
belum terbaca. Beberapa hal yang pasti yaitu akan adanya beberapa perbedaan
strategi yang dilakukan aktor politik untuk mensikapi perubahan regulasi.
Apabila dikembalikan ke
dalam kerangka teoritik, perubahan regulasi jelas akan merubah strategi aktor
politik dalam memaksimalkan keuntungan dalam kompetisi pemilu. Regulasi baru
jelas berpihak pada partai besar sebagai upaya penyederhanaan partai. Perubahan
institusional sebagai dampak perubahan strategi belum dapat ditentukan. Selain
itu, perubahan yang direkayasa tetap tidak berbeda dengan kondisi budaya
politik yang ada di Indonesia saat ini.
Referensi:
Andre Blais
and Louis Massicotte (1996), ‘Electoral Systems’ in Lawrence LeDuc, Richard G.
Niemi and Pippa Norris (eds), Comparing
Democracies: Elections and Voting in Global Perspective (Thousand Oaks CA:
Sage)
Andrew Reynolds and Ben Reilly
(1997), The International IDEA Handbook
of Electoral System Design, (Stockholm: International Institute for
Democracy and Electoral Assistance) (available on-line at
http://www.idea.int/publications/esd/index.cfm)
Diamond Larry and Leonardo Morlino (2005), ‘Assessing the Quality of Democracy (A Journal of Democracy Book)’ The John Hopkins University Press.
McIntyre Andrew (2003), The power of
institutions: political architecture and governance, Cornell University Press.
Mietzner
(2009)’, Indonesia’s 2009 elections: populism, dynasties and the consolidation
of the party system, LOWY institute
Norris Pippa (2004), Electoral engineering: voting rules and political behavior,
Cambridge.
Sherlock
Stephen (2009), Indonesia’s 2009 elections: the new electoral system and the competing
parties, CDI.
Pemilu dan Perubahan Politik
Bayu Dardias
http://bayudardias.staff.ugm.ac.id
Universitas Negeri Jember , 22 Mei 2012
Outline
1.
Kerangka Teoritik sistem
Pemilu
2.
Perubahan Rutin Lima
Tahunan
3.
Electoral Formula
4.
District Magnitude
5.
Ballot Structure
6.
Sebaran Penduduk dan
Kondisi Geografis
7.
Threshold
8.
Judicial Power
9.
Perilaku Aktor Politik dan
Perubahan Sistem Politik
Kerangka Teoritik
Dua Kubu Teoritik
1.
Rational-Choice
Institutionalism
- Aturan Pemilu
- Perilaku Aktor Politik
- Respon Pemiliih
- Perwakilan yang dikehendaki
2.
Cultural Modernisation
Theory
- Societal Modernisation
- Kultur Politik
- Proses Sosialisasi
- Btasan Elektoral
Perubahan Lima Tahunan
- UU berubah, isunya tetap sama
- Terdapat perubahan dalam UU Pemilu, yang akan merubah
strategi aktor politik
- Dampaknya thd sistem politik belum diketahui, tetapi
kemungkinan tidak akan massive.
Electoral Formula
- Tidak ada penghitungan tahap ketiga.
- Hanya penghitungan tahap kedua utk sisa suara dan suara
yang tidak mencapai BPP.
District Magnitude
- Semakin besar semakin proporsional
- Sama untuk DPR RI (3-10) pada pembahasan disatukan dengan
Parliamentary Threshold.
- Berbeda untuk DPRD dengan sub bagian administratif menjadi
Dapil
Ballot Structure
- Proporsional Terbuka
- Coblos mengganti Contreng
- Memilih satu kali
- Boleh memilih Partai, atau Kandidat.
- Suara Kandidat diperhitungkan, terlepas dari urutan Partai
- Kandidat Akan berkampanye.
- Lambang Partai kecil, tdk sebanding dgn gambar kandidat
Sebaran Penduduk
- Prinsip OPOVOV tidak berlaku di Indonesia.
- Sebaran penduduk yang tidak merata diharapkan diwakili DPD
tetapi tidak terjadi.
- Suara Pemilih Jawa Bali jauh lebih rendah daripada
Kalimantan Papua.
Threshold
- Electoral Threshold terbukti tidak efektif
- PT diberlakukan nasional.
- Partai tidak lewat 3,5% , suaranya tidak dihitung di semua
level legislatif.
- Ancaman besar utk desain Proporsional.
- Mematikan partai kecil yang eksis di lokal kecuali Aceh.
Yudicial Power
- MK dapat merubah sistem politik dari yang sudah dihasilkan
di DPR
- Memiliki prinsip dan perhitungan tersendiri.
- Tidak faham desain elektoral.
- Tidak ada damage control.
Perilaku Politik
- Tokoh dan Pemodal akan mendominasi
- Perebutan Kandidat
krn konsekuensi Merger Partai
- Incumbent diuntungkan
- Kandidat Perempuan kecil kemungkinan untuk meningkat.
Kesimpulan
- UU Pemilu 2014 akan merubah perilaku aktor politik walau
dampaknya belum dapat diketahui.
- Kemungkinan besar akan mirip dengan kondisi 2009.