Wednesday, June 13, 2012

PIAP



BAB 1. PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Ilmu administrasi publik erat kaitannya dengan birokrasi atau pemerintahan. Ilmu administrasi publik merupakan ilmu yang berusaha untuk mengetahui, menganalisis, dan memecahkan persoalan-persoalan kenegaraan. Sehingga mampu menjawab tuntutan-tuntutan dari masyarakat secara umum, bukan sekedar untuk memenuhi kepentingan golongan elit yang cenderung merugikan rakyat. Penyelesaian masalah-masalah negara tersebut berawal dari munculnya sebuah permasalahan dalam masyarakat. Dari permasalahan tersebut, selanjutnya berkembang menjadi isu-isu pokok. Dari sini, ilmu administrasi publik harus peka terhadap isu-isu tersebut, sehingga dapat merumuskannya menjadi suatu kebijakan publik untuk direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

1.2  Rumusan Masalah
a.       Apa makna utama Administrasi Publik?
b.      Apa yang dimaksud Birokrasi dan birokratisasi?
1.3  Manfaat dan Tujuan
a.       Mengetahui makna utama Administrasi Publik
b.      Mengetahui Birokrasi dan birokratisasi






BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Makna Utama Administrasi Publik
Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan, administrasi publik akan memainkan sejumlah peran penting dalam menyelenggarakan pelayanan publik guna mewujudkan salah satu tujuan utama dibentuknya negara yakni kebahagiaan bagi masyarakat. Lebih jauh lagi pembatasan definisi ilmu administrasi publik mengalami krisis.[1] Menurut Nicholas henry (public administration and public affairs) menyarankan bahwa pehaman administrasi bisa dipahami lewat paradigm. Paradigma ini akan dapat dimengerti dalam hubungannya dengan istilah Locus dan Focus tersebut. Locus menurut letak/kelembagaan dari administrasi berada berupa public interest dan public affairs, dan Focus sesuai sasaran spesialisasi bidang studi yaitu teori organisasi dan ilmu manajemen.[2]
Oleh karena bahasan administrasi public masih bersifat abstrak, sulit memberi definisi yang pasti terhadapnya karena apabila memberikan batasan definisi yang pasti akan menimbulkan banyak pertanyaan dan semakin tidak dapat mengungkap definisi inti dari administrasi public.
Menurut pendapat saya pengertian dari ilmu administrasi publik ialah suatu penerapan ilmu sosial (dan ilmu lain) pada masalah-masalah kemasyarakatan yang membahas dan menelaah tentang teori organisasi, manajemen, tata pemerintahan yang bertanggung jawab untuk kebahagiaan masyarakat. Ia merupakan sebuah mata pelajaran, suatu profesi, dan suatu lapangan. Administrasi publik menjembatani disiplin-disiplin, dan karena itu, mengambil bagian yang relevan dari disiplin-disiplin itu serta menerapkannya pada masalah-masalah publik. Lebih lanjut administrasi publik memiliki mandat legislasi untuk menjalankan kebijakan publik yang bertanggung jawab. Tentunya dengan bantuan organisasi dan manajemen yang baik. Dalam hal ini juga perlu dipelajari lebih jauh bagaimana etika para penyelenggara negara yang juga sebagai pelayan publik. Jadi bagaimana pribadi dan etika pemerintah haruslah lebih baik agar bisa menjadi contoh bagi yang diperintah agar nantinya tidak menimbulkan disintegrasi. Oleh sebab itu kontrol sosial memegang peranan dalam upaya check and balance terhadap pemerintah.
Lalu makna utamanya ialah adanya interaksi atau hubungan timbal balik antara pemerintah dan yang diperintah atau pemberi layanan dan penerima layanan dimana interaksi tersebut dapat terwujud karena adanya aspirasi-aspirasi dari masyarakat yang akhirnya menimbulkan suatu efek responsif dari pemerintah untuk menampung dan merepresentasikan aspirasi tersebut dalam bentuk kebijakan publik.
Administrasi publik menyangkut penyusunan dan pelaksanaan kebijakan, yang dilakukan oleh birokrasi dalam skala besar untuk kepentingan publik. Refleksinya, pemegang kekuasaan memiliki otoritas dan wewenang yang besar dalam mengambil setiap kebijakan guna memenuhi kebutuhan publik.[3] Dalam hal ini pemegang kekuasaan diharapkan lebih responsive dalam mengambil kebijakan publik.
Tujuan utama dari administrasi publik ialah bagaimana mewujudkan good governence yang terpola sesuai dengan sistem negara yang dianut agar dapat mengkondisikan dengan keadaan masyarakat pemerintahan pada umumnya. Jadi pemerintah adalah abdi dari masyarakat itu sendiri, yang semua kebijakannya disesuaikan agar dapat memenuhi kebutuhan secara komperhensif masyarakatnya. Hubungan timbal balik antara pemerintah dan yang diperintah menimbulkan suasana birokrasi yang ideal. Jadi intinya kebijakan publik itu dibuat semata-mata untuk mempermudah segala akses yang dibutuhkan masyarakat agar tercapai suasana kondusif dalam bernegara.
Karena administrasi publik adalah ilmu terapan aplikatif dimungkinkan terdapat aspek prosedural dan substansial, Aplikasi nyata keadaan negeri kita ini memang telah mengarah pada tataran ideal administrasi publik yang seharusnya, namun masih banyak hal yang perlu menjadi bahan koreksi agar tercapai suatu good governence yang kuat di masa yang akan datang. Ini semua masih dalam tataran prosedural namun masih belum menyentuh ke hal substansional dimana seharusnya kepentingan masyarakat menjadi prioritas utama dalam menentukan sebuah kebijakan. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya kebijakan pemerintah yang diambil bukan berdasarkan pada kepentingan masyarakat tapi malah justru kebijakan itu lahir karena transaksional para pemimpin negeri ini.


2.2 Birokrasi dan Birokratisasi
Tidak dapat dipungkiri bahwa birokrasi mutlak diperlukan dalam pemerintahan seiring dengan perkembangan masyarakat dan kemajuan teknologi. Walaupun secara empiris, birokrasi tidak dapat menjamin tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sepenuhnya, bahkan terkadang birokrasi tampak merugikan dan menyengsarakan rakyat. Seperti yang diungkapkan Henry (1988) bahwa pemerintah tak lagi bekerja untuk rakyat, dan birokrasi negara kadangkala memerangi rakyat.[4] Namun, birokrasi harus ada dan tidak bisa dihindarkan, baik pada organisasi publik maupun organisasi privat.
Banyak orang menghakimi bahwa birokrasi identik dengan kebohongan dan manipulasi. Namun, perlu dipahami terlebih dahulu definisi birokrasi dalam konteks idealisme. Mengacu pada gagasan Eisenstadt (1959)[5] yang mengemukakan 2 pandangan birokrasi yaitu: 1) Birokrasi sebagai alat yang efektif dan efisien untuk mewujudkan lesan-lesan tertentu, dan 2) Birokrasi sebagai alat untuk memperoleh, mempertahankan, dan melaksanakan kekuasaan. Maka dapat didefinisikan bahwa Birokrasi merupakan suatu badan atau lembaga yang ada pada pemerintahan dengan tugas utama sebagai perencana dan pelaksana dari kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah, dengan menggunakan kekuasaan sebagai instrumen pelaksanaannya. Sehingga, birokrasi tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan publik. Pelaksana dari birokrasi itu sendiri yaitu para birokrat, yang merupakan pejabat negara yang digaji dan memiliki otoritas. Jika dipahami melalui paradigma pertama administrasi negara, yaitu dikotomi politik-administrasi, maka dapat dikatakan bahwa birokrasi adalah administrasi, sehingga otomatis para birokrat adalah administrator publik. Secara sederhana, Max Weber (dalam Albrow, 1989) memberikan pernyataannya bahwa ciri pokok pejabat birokratis, bahwa ia adalah orang yang diangkat. Dan tidak ada pelaksanaan otoritas yang benar-benar birokratis, yakni semata-mata melalui pejabat yang dibayar dan diangkat secara kontraktual.[6]
Faktanya, saat ini birokrasi cenderung menampakkan wajah negatif. Hal ini dapat dilihat dari kualitas dan kuantitas para birokrat yang menduduki kursi pemerintahan. Secara kuantitas, jumlah birokrat selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di samping itu, kekuatan daya tahan suatu organisasi publik cukup tinggi dari pada organisasi privat atau swasta. Seperti yang diungkapkan Kaufman (dalam Henry, 1988) bahwa angka kegagalan perusahaan melebihi angka kematian badan pemerintah.[7] Namun, secara kualitas, kita perlu mempertanyakan apakah badan atau lembaga yang masih memiliki eksistensi itu tetap menjalankan tugasnya dengan baik yaitu melayani kepentingan rakyat, dan apakah dengan jumlah birokrat yang selalu meningkat dapat menjamin peningkatan kualitas pelayanan.
Jika dikaitkan dengan teori birokrasi klasik Max Weber yang menungkapkan birorasionalitas, biroefisiensi, dan biropatologi (dalam paper Soesilo Zauhar) dengan mengamati kenyataan yang ada pada lembaga birokrasi saat ini, maka dapat dikatakan bahwa birokrasi saat ini sedang menduduki ciri biropatologi, yaitu suatu kondisi dimana birokrasi tidak lagi bekerja secara efektif dan efisien, melainkan terdapat pemborosan-pemborosan yang berdampak negatif bagi kehidupan rakyat. Misalnya saja dalam pelaksanaan suatu kegiatan yang membutuhkan kepanitiaan, akan terdapat penggelembungan jumlah kepanitiaan yang mengakibatkan pembengkakan anggaran biaya yang seharusnya dapat diminimalisir. Hal ini hendaknya dapat menjadi evaluasi dalam upaya peningkatan efektifitas birokrasi.
Mengacu pada kondisi pemerintahan saat ini, dimana pemerintah menghadapi permasalahan yang semakin kompleks, maka perlu adanya birokratisasi. Birokratisasi merupakan proses menjalankan prinsip-prinsip birokrasi, dalam arti proses pembirokrasian lembaga-lembaga pemerintah sesuai dengan prinsip birokrasi ideal, yaitu perubahan dari birokrasi tradisional menjadi legal-rasional, serta perubahan dari personal administratif menjadi impersonal administratif. Birokratisasi perlu dilakukan untuk mengembalikan fungsi birokrasi yang sesungguhnya yaitu sebagai pelayan publik. Birokratisasi juga diperlukan untuk menghadapi peningkatan jumlah penduduk, pesatnya kemajuan teknologi dan tuntutan masyarakat akan kesejahteraan. Prinsip birokrasi yang diharapkan masyarakat saat ini adalah birokrasi yang “memanusiakan manusia”, dalam arti adanya keluwesan dalam menjalankan sistem pemerintahan. Luwes bukan berarti tidak memiliki kepastian dan keajegan, tapi memiliki fleksibilitas sehingga tidak hanya berpedoman pada teori-teori yang baku melainkan bisa menyesuaikan dengan realitas yang terjadi di masyarakat.


BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kegunaan utama administrasi publik ialah berkaitan dengan pelayanan, ada dua istilah yang perlu diketahui, yaitu melayani dan pelayanan. Pengertian melayani adalah membantu menyiapkan(mengurus) apa yang diperlukan seseorang. Sedangkan pelayanan adalah usaha melayani kebutuhan orang lain. Jadi administrasi publik digunakan untuk memberikan pelayanan publik dan menyelenggarakan pemerintahan dalam suatu negara.
Dari uraian-uraian di atas penulis berkesimpulan bahwa birokrasi akan ideal apabila administrasi publik memiliki kualitas dan mutu yang prima, oleh sebab itu penekanan fungsi perlu mendapat porsi lebih dalam upaya menguatkan pondasi lembaga publik untuk mencapai keadaan bernegara yang stabil dan kondusif. Pergeseran dari penekanan pada pembangunan dan pemeliharaan lembaga menuju penekanan pada anomali-anomali sosial mempunyai perumpamaan penting dalam studi administrasi negara. Dengan interval waktu yang cukup memungkinkan pelayanan publik menjadi modal yang kuat dalam menjalankan roda pemerintahan dalam masa yang akan datang.End


Sumber
Nicholas Henry, Administrasi Negara dan Masalah-Masalah Kenegaraan, Terjemahan Luciana D. Lontoh, Edisi pertama, Jakarta, CV Rajawali, 1988, halaman 23.
Lihat paper Birokrasi, Birokratisasi dan Post Bureaucracy karya Susilo Zauhar.
Thoha, Miftah, Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, 3rd Ed.,Jakarta, CV Rajawali, 1988, halaman 8
Nicholas Henry, Administrasi Negara dan Masalah-Masalah Kenegaraan, Terjemahan Luciana D. Lontoh, Edisi pertama, Jakarta, CV Rajawali, 1988, halaman 23.
Lihat paper Birokrasi, Birokratisasi dan Post Bureaucracy karya Susilo Zauhar.
Martin Albrow, Birokrasi, Terjemahan M.Rusli Karim dan Totok Daryanto, Yogyakarta, PT Tiara Wacana, 1989, halaman 31.
Lihat Nicholas Henry, Administrasi Negara dan Masalah-Masalah Kenegaraan, halaman 14.
http://staff.ui.ac.id/internal/0900300014/publikasi/ParadigmaAdmPublikTKRevisiasrequested.pdf