Peserta Pemilu dan
Parliamentary Treshold dalam UU Pemilu Legislatif Tahun 2012
oleh: Andry Dewanto
Ahmad
Ketua KPU Provinsi
Jawa Timur
Peserta Pemilu DPR dan DPRD
- Dalam
Undang-Undang Tahun 2012 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008
tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD ditentukan bahwa Parpol peserta pemilu
terakhir (Pemilu legislatif 2009) yang
memenuhi Parliamantary Treshold atau disingkat PT (tahun 2009 jumlah PT
2,5 persen), ditetapkan sebagai peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya (pemilu
legislatif 2014)
- Sedangkan parpol yang tidak memenuhi PT pada pemilu 2009
(parpol non parlemen) dan parpol baru dapat menjadi peserta pemilu setelah
memenuhi persyaratan sesuai pasal 8 ayat (2) antara lain:
a. berstatus badan hukum sesuai UU Parpol;
b. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;
c. memiliki kepengurusan di 75 persen jumlah kabupaten/kota
di provinsi yang bersangkutan;
d. memiliki kepengurusan di 50 persen jumlah kecamatan di
kabupaten/kota yang bersangkutan;
e. menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan
perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat;
f. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1000 orang atau
1/1000 dari jumlah penduduk pada kepungurusan parpol sebagaimana pada huruf
c yang dibuktikan dengan kepemilikan
kartu tanda anggota;
g. punya kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan
pusat, provinsi dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilu;
h. mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik
kepada KPU;
i. Menyerahkan nomor rekening dana kampanye pemilu atas nama
parpol kepada KPU.
- Pasal 9 menyebutkan
bahwa KPU yang melaksanakan penelitian administrasi dan penetapan
keabsahan persyaratan parpol menjadi peserta pemilu.
- Pertanyaannya, mengapa persyaratan menjadi peserta pemilu
dibedakan antara parpol yang mencapai PT pada pemilu sebelumnya dan Parpol yang
tidak mencapai PT dan atau Parpol baru?
- Pertama, ada pandangan yang menganggap bahwa
pembedaan persyaratan menjadi peserta pemilu itu bukan diskriminasi melainkan
sekadar konsekuensi dari kompetisi yang secara periodik diselenggarakan setiap
5 tahun. Itu artinya Parpol yang mencapai PT pada pemilu 2009 yang saat ini
memiliki kursi di DPR menggunakan UU
sebagai sarana untuk “mengalahkan”
parpol non parlemen dan atau parpol baru sebelum pemilu yang sesungguhnya di mulai.
- Kedua, pemenuhan persyaratan menjadi peserta pemilu
sebagaimana diatur oleh pasal 8 ayat (2) berupa jumlah kepengurusan mulai pusat
hingga kecamatan, keanggotaan,
perkantoran, dll disadari sebagai syarat
yang tidak ringan karena membutuhkan energi yang besar, terutama akan memakan
biaya yang besar yang angkanya bakal mencapai ratusan miliaran rupiah bahkan
bisa lebih. Hal ini disadari bukan hal ringan meski oleh parpol yang memiliki
wakil di senayan bahkan oleh parpol yang telah mendapatkan jatah posisi
menteri sekalipun.
- Ketiga,
karena beratnya untuk dapat memenuhi persyaratan menjadi parpol peserta
pemilu sesuai pasal 8 ayat (2) maka telah diprediksi parpol-parpol non parlemen
dan parpol baru akan kesulitan untuk
memenuhinya sehingga cukup besar
peluang tidak akan lolos verifikasi oleh KPU, akibatnya akan terjadi
pengurangan dari parpol non parlemen dan partai baru– yang bisa jadi signifikan
terhadap pengurangan jumlah parpol peserta pemilu pada pemilu legislatif 2014.
- Keempat, Parpol yang lolos PT dan memiliki kursi di
DPR mendapatkan bantuan dana dari APBN dan parpol di daerah mendapatkan bantuan
keuangan bersumber dari APBD. Sedangkan
parpol non parlemen tidak mendapatkan bantuan keuangan dari APBN, sedangkan di
daerah parpol non parlemen bisa mendapatkan bantuan keuangan bersumber APBD
bila memiliki kursi di DPRD.
- itu artinya bila dilihat dari segi keuangan maka parpol
yang mencapai PT memiliki dua sumber keuangan yaitu APBN dan APBD, di samping
sumber keuangan dari iuaran anggota DPR dan DPRD dan pemasukan dari elit parpol yang memperoleh jabatan
menteri dan posisi strategis. Kesimpulannya parpol di Senayan memiliki sumber dana lebih baik untuk
digunakan dalam mengkonsolidasi institusinya
dalam rangka pemenuhan persyaratan dan verifikasi administrasi parpol,
ketimbang parpol non parlemen dan parpol baru, namun mengapa justru parpol non
parlemen dan parpol baru yang dikenakan untuk memenuhi persyaratan pasal 8
ayat (2 ) bila ingin menjadi peserta
pemilu 2014?
- PT adalah norma tentang syarat parpol yang dapat diikutkan
dalam pembagian kursi di senayan—pada pileg 2009 sebesar 2,5%, sedangkan
syarat-syarat menjadi peserta pemilu adalah norma yang mengatur institusi
parpol meliputi: badan hukum, tingkat
dan jumlah sebaran kepengurusan, keterwakilan perempuan, jumlah minimal
keanggotaan, kantor, nama, lambang dan tanda gambar, dan nomor rekening parpol.
Norma mengenai persyaratan parpol menjadi peserta pemilu
bersifat akumulatif, artinya bila ada sebuah parpol ingin menjadi parpol
peserta pemilu maka parpol tersebut harus memenuhi ketentuan seluruh
syarat-syarat yang telah harus memenuhi seluruh persyaratan untuk menjadi parpol
peserta pemilu sebagaimana diatur dalam pasal 8 ayat (2).
Seandainya semua persyaratan telah terpenuhi tapi kurang
kepengurusan satu kecamatan saja dari ketentuan minimal yang telah ditentukan
oleh UU maka akibatnya parpol tersebut tidak dapat ditetapkan sebagai parpol
peserta pemilu. Dapat dibayangkan beratnya
syarat yang harus dipenuhi oleh parpol non parlemen dan parpol baru
untuk menjadi peserta pemilu.
- Parliamantary Treshold (PT)
- Pasal 208 yang mengamanatkan PT 3,5 persen berlaku
nasional dipandang merugikan parpol-parpol non parlemen yang tidak memiliki
basis politik dan massa nasional yang merata.
- PT nasional akan melahirkan komposisi DPRD yang terdiri
dari parpol-parpol yang sama dengan parpol-parpol yang memiliki kursi di DPR.
- Adapun parpol-parpol yang mendapatkan perolehan suara
signifikan di daerah namun secara nasional perolehan suaranya tidak mencapai PT
3,5 persen, maka parpol tersebut tidak
diikutkan dalam pembagian kursi DPRD baik tingkat provinsi dan kabupaten kota,
berapa pun perolehan suara yang didapatkan parpol tersebut di daerah.
- Sistem politik yang hendak dibangun adalah penyederhanaan
jumlah parpol mulai tingkat pusat hingga daerah. para elit parpol daerah yang
tidak lolos PT akan bergabung dengan parpol yang lolos PT.
Problem-Problem yang muncul:
- pertama, apakah dikesampingkan begitu saja
problem-problem yang akan dihadapi elit-elit parpol tidak lolos PT di daerah
mengenai perbedaan ideologis, aliran, etinisitas yang berbeda yang menjadi
penghalang mereka untuk dengan mudah bergabung dengan parpol-parpol yang
mendapatkan kursi nantinya?
- Kedua, bila
pendekatannya adalah pragmatis, apakah
elit parpol itu akan dapat bergabung dengan parpol-parpol yang memenangkan
pemilu, ketika mereka tidak diterima atau tidak diberi posisi-posisi yang tidak
stategis karena mereka adalah orang baru atau pendatang di parpol-parpol besar itu. Tidakkah situasi
ini akan melahirkan akumulasi orang-orang yang frustasi politik.
- Ketiga, tidakkah kekuatan dominan yang bersifat
lokal harus diberi tempat untuk terus melakukan kerja-kerja politik dalam
institusi formal parlemen daerah (DPRD) sebagai buffer ketahanan politik lokal
untuk menjamin integrasi nasional.
Penerpan PT antiproduktif dengan kesadaran ini.
PT Nasional ditolak mengapa? Alasan lainnya:
- Konflik dapat terjadi karena parpol yang mendapat dukungan
lokal tidak mendapatkan haknya untuk duduk di parlemen daerah (DPRD) apalagi
bila suaranya signifikan.
- Pemilihan tetap menggunakan tiga surat suara yakni surat
suara DPR, DPRD provinsi dan surat suara DPRD Kabupaten atau Kota, namun
mengapa penentuan anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten Kota ditentukan oleh
ambang batas (PT) DPR?
- Benarkah berkurangnya parpol di DPR meningkatkan
efektifitas pemerintahan? Maka jika ukurannya adalah produk legislasi,
pengawasan pada eksekutif, dan penyusunan anggaran, maka jawabannya adalah
tidak. Maka kepentingan memperbesar kekuasaan parpol lebih besar daripada
kepentingan untuk meningkatkan efektifitas pemerintahan.