Tuesday, June 5, 2012

MASALAH UU PEMILU


Peserta Pemilu  dan Parliamentary Treshold dalam UU Pemilu Legislatif Tahun 2012
oleh: Andry Dewanto Ahmad
Ketua KPU Provinsi Jawa Timur

Peserta Pemilu DPR dan DPRD
- Dalam  Undang-Undang  Tahun 2012 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008  tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD ditentukan bahwa Parpol peserta pemilu terakhir (Pemilu legislatif 2009) yang  memenuhi Parliamantary Treshold atau disingkat PT (tahun 2009 jumlah PT 2,5 persen), ditetapkan sebagai peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya (pemilu legislatif 2014)

- Sedangkan parpol yang tidak memenuhi PT pada pemilu 2009 (parpol non parlemen) dan parpol baru dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan sesuai pasal 8 ayat (2) antara lain:
a. berstatus badan hukum sesuai UU Parpol;
b. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;
c. memiliki kepengurusan di 75 persen jumlah kabupaten/kota di provinsi yang  bersangkutan;
d. memiliki kepengurusan di 50 persen jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan;
e. menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat;
f. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1000 orang atau 1/1000 dari jumlah penduduk pada kepungurusan parpol sebagaimana pada huruf c  yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;
g. punya kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilu;
h. mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU;
i. Menyerahkan nomor rekening dana kampanye pemilu atas nama parpol kepada KPU.
- Pasal 9 menyebutkan  bahwa KPU yang melaksanakan penelitian administrasi dan penetapan keabsahan persyaratan parpol menjadi peserta pemilu.
- Pertanyaannya, mengapa persyaratan menjadi peserta pemilu dibedakan antara parpol yang mencapai PT pada pemilu sebelumnya dan Parpol yang tidak mencapai PT dan atau Parpol baru?

- Pertama, ada pandangan yang menganggap bahwa pembedaan persyaratan menjadi peserta pemilu itu bukan diskriminasi melainkan sekadar konsekuensi dari kompetisi yang secara periodik diselenggarakan setiap 5 tahun. Itu artinya Parpol yang mencapai PT pada pemilu 2009 yang saat ini memiliki kursi di DPR  menggunakan UU sebagai sarana untuk  “mengalahkan” parpol non parlemen dan atau parpol baru sebelum pemilu yang sesungguhnya  di mulai.

- Kedua, pemenuhan persyaratan menjadi peserta pemilu sebagaimana diatur oleh pasal 8 ayat (2) berupa jumlah kepengurusan mulai pusat hingga kecamatan,  keanggotaan, perkantoran, dll  disadari sebagai syarat yang tidak ringan karena membutuhkan energi yang besar, terutama akan memakan biaya yang  besar yang angkanya  bakal mencapai ratusan miliaran rupiah bahkan bisa lebih. Hal ini disadari bukan hal ringan meski oleh parpol yang memiliki wakil di senayan bahkan oleh parpol yang telah mendapatkan jatah posisi menteri  sekalipun.
- Ketiga,  karena beratnya untuk dapat memenuhi persyaratan menjadi parpol peserta pemilu sesuai pasal 8 ayat (2) maka telah diprediksi parpol-parpol non parlemen dan parpol baru akan kesulitan untuk  memenuhinya sehingga  cukup besar peluang tidak akan lolos verifikasi oleh KPU, akibatnya akan terjadi pengurangan dari parpol non parlemen dan partai baru– yang bisa jadi signifikan terhadap pengurangan jumlah parpol peserta pemilu pada pemilu legislatif 2014.

- Keempat, Parpol yang lolos PT dan memiliki kursi di DPR mendapatkan bantuan dana dari APBN dan parpol di daerah mendapatkan bantuan keuangan bersumber dari  APBD. Sedangkan parpol non parlemen tidak mendapatkan bantuan keuangan dari APBN, sedangkan di daerah parpol non parlemen bisa mendapatkan bantuan keuangan bersumber APBD bila memiliki kursi di DPRD.

- itu artinya bila dilihat dari segi keuangan maka parpol yang mencapai PT memiliki dua sumber keuangan yaitu APBN dan APBD, di samping sumber keuangan dari iuaran anggota DPR dan DPRD dan pemasukan dari  elit parpol yang memperoleh jabatan menteri  dan posisi strategis.   Kesimpulannya parpol di Senayan  memiliki sumber dana lebih baik untuk digunakan dalam mengkonsolidasi institusinya  dalam rangka pemenuhan persyaratan dan verifikasi administrasi parpol, ketimbang parpol non parlemen dan parpol baru, namun mengapa justru parpol non parlemen dan parpol baru yang dikenakan untuk memenuhi persyaratan pasal 8 ayat  (2 ) bila ingin menjadi peserta pemilu 2014?

- PT adalah norma tentang syarat parpol yang dapat diikutkan dalam pembagian kursi di senayan—pada pileg 2009 sebesar 2,5%, sedangkan syarat-syarat menjadi peserta pemilu adalah norma yang mengatur institusi parpol meliputi:  badan hukum, tingkat dan jumlah sebaran kepengurusan, keterwakilan perempuan, jumlah minimal keanggotaan, kantor, nama, lambang dan tanda gambar, dan nomor rekening parpol.

Norma mengenai persyaratan parpol menjadi peserta pemilu bersifat akumulatif, artinya bila ada sebuah parpol ingin menjadi parpol peserta pemilu maka parpol tersebut harus memenuhi ketentuan seluruh syarat-syarat yang telah harus memenuhi seluruh persyaratan untuk menjadi parpol peserta pemilu sebagaimana diatur dalam pasal 8 ayat (2).

Seandainya semua persyaratan telah terpenuhi tapi kurang kepengurusan satu kecamatan saja dari ketentuan minimal yang telah ditentukan oleh UU maka akibatnya parpol tersebut tidak dapat ditetapkan sebagai parpol peserta pemilu. Dapat dibayangkan beratnya  syarat yang harus dipenuhi oleh parpol non parlemen dan parpol baru untuk menjadi peserta pemilu.
- Parliamantary Treshold (PT)
- Pasal 208 yang mengamanatkan PT 3,5 persen berlaku nasional dipandang merugikan parpol-parpol non parlemen yang tidak memiliki basis politik dan massa nasional yang merata.
- PT nasional akan melahirkan komposisi DPRD yang terdiri dari parpol-parpol yang sama dengan parpol-parpol yang memiliki kursi di DPR.
- Adapun parpol-parpol yang mendapatkan perolehan suara signifikan di daerah namun secara nasional perolehan suaranya tidak mencapai PT 3,5 persen, maka parpol tersebut  tidak diikutkan dalam pembagian kursi DPRD baik tingkat provinsi dan kabupaten kota, berapa pun perolehan suara yang didapatkan parpol  tersebut di daerah.
- Sistem politik yang hendak dibangun adalah penyederhanaan jumlah parpol mulai tingkat pusat hingga daerah. para elit parpol daerah yang tidak lolos PT akan bergabung dengan parpol yang lolos PT.
Problem-Problem yang muncul:
- pertama, apakah dikesampingkan begitu saja problem-problem yang akan dihadapi elit-elit parpol tidak lolos PT di daerah mengenai perbedaan ideologis, aliran, etinisitas yang berbeda yang menjadi penghalang mereka untuk dengan mudah bergabung dengan parpol-parpol yang mendapatkan kursi nantinya?

- Kedua,  bila pendekatannya adalah pragmatis,  apakah elit parpol itu akan dapat bergabung dengan parpol-parpol yang memenangkan pemilu, ketika mereka tidak diterima atau tidak diberi posisi-posisi yang tidak stategis karena mereka adalah orang baru atau pendatang  di parpol-parpol besar itu. Tidakkah situasi ini akan melahirkan akumulasi orang-orang yang frustasi politik.

- Ketiga, tidakkah kekuatan dominan yang bersifat lokal harus diberi tempat untuk terus melakukan kerja-kerja politik dalam institusi formal parlemen daerah (DPRD) sebagai buffer ketahanan politik lokal untuk menjamin  integrasi nasional. Penerpan PT antiproduktif dengan kesadaran ini.

PT Nasional ditolak mengapa? Alasan lainnya:
- Konflik dapat terjadi karena parpol yang mendapat dukungan lokal tidak mendapatkan haknya untuk duduk di parlemen daerah (DPRD) apalagi bila suaranya signifikan.
- Pemilihan tetap menggunakan tiga surat suara yakni surat suara DPR, DPRD provinsi dan surat suara DPRD Kabupaten atau Kota, namun mengapa penentuan anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten Kota ditentukan oleh ambang batas (PT) DPR?
- Benarkah berkurangnya parpol di DPR meningkatkan efektifitas pemerintahan? Maka jika ukurannya adalah produk legislasi, pengawasan pada eksekutif, dan penyusunan anggaran, maka jawabannya adalah tidak. Maka kepentingan memperbesar kekuasaan parpol lebih besar daripada kepentingan untuk meningkatkan efektifitas pemerintahan.